Social Icons

Selasa, 23 Oktober 2012

Usaha Mengembangkan Sikap Sosial Anak Melalui Permainan


Oleh Erlina Budi Utami

Menyertai perkembangan fisik dan psikis sejak masa bayi teramati kegiatan awal dalam bermain dan sikap kompetitif yang wajar dan sportif terhadap sesamanya. Anak mulai bermain dan bercakap sendiri, di rumah atau halaman kemudian meluas kepada tetangga sebaya dan orang-orang lingkungan terdekat. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan, kegembiraan, dan kepuasaan tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Terlebih jika didorong orang tua dan dipacu orang-orang di sekitarnya.

Dalam kompetisi tersirat perjuangan untuk memenangkan sesuatu sesuai aturan permainan adalah, persaingan kompetitif yang tidak berisi pertentangan pribadi. Setiap pihak ingin mewujudkan diri mengungguli pihak lain dan boleh menang. Pertandingan kompetitif sekalipun keras seperti saling mematikan, tetapi tetap dalam suasana persahabatan. Hal ini tampak dalam kompetisi beberapa jenis olahraga, seperti yudo, karate, tinju, atau bola kaki. Usai kompetisi yang keras, masing-masing pihak bersikap sportif saling berjabat tangan atau berangkulan seperti saudara atau sahabat karib. Sikap positif itu menandai perkembangan sosial yang wajar di tengah sikap kompetitif dalam melakukan permainan di lingkungan masyarakat.
Upaya mengembangkan kemampuan sosial anak berimplikasi pada tanggung jawab pelaksanaan pendidikan dalam kerjasama keluarga, sekolah, dan masyarakat.

1. Keluarga

Orangtua perlu menyadari tanggung jawab menumbuhkan perilaku sosial anak-anak titipan-Nya. Kesadaran itu diwujudkan dalam pembinaan keluarga yang utuh, serasi dan sehat. Di sana orangtua memberi kebebasan bereksplorasi pada suasana kerja sama juga persaingan sehat dalam berbagai kegiatan anak-anak mereka, seperti bermain.
Sesuai dengan perkembangan sosial yang semakin matang, anak secara berangsur-angsur lebih banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk mengendalikan tingkah lakunya. Perubahan ini mempunyai dampak yang besar terhadap kualitas hubungan antara anak-anak usia sekolah dasar dan orangtua mereka (Seifert dan Hoffnung dalam Sinolungan).
Permainan memberikan pengaruh besar dalam mengembangkan kemampuan sosial anak, karena dengan permainan anak-anak dapat mengetahui peran dan fungsinya dalam kelompok, dengan permainan anak juga mempunyai teman yang banyak, teman membuat hidup si anak lebih menarik dan menyenangkan.

2. Sekolah

           Sekolah juga mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan sikap sosial anak, karena selama masa pertengahan dan akhir anak-anak, anak menghabiskan kurang lebih 10.000 jam waktunya di ruang kelas. Anak-anak menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah sebagai anggota suatu masyarakat kecil yang harus mengerjakan sejumlah tugas dan mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan dan membatasi perilaku, perasaan dan sikap mereka (Santrock dalam Sinolungan)
Di sekolah, guru membimbing perkembangan kemampuan sikap, dan hubungan sosial yang wajar pada peserta didiknya. Hubungan sosial yang sehat dalam sekolah dan kelas seyogyanya diprogram, dikreasikan, dan dipelihara bersama-sama dalam belajar, bermain dan berkompetisi sehat. Sekolah mengupayakan layanan bimbingan kepada peserta didik. Bimbingan selain untuk belajar adalah untuk penyesuaian diri ke dalam lingkungan atau juga penyerasian terhadap lingkungannya. Kepada siswa diajarkan tentang disiplin dan aturan melalui keteraturan atau conformity yang disiratkan dalam tiap pelajaran (Sinolungan, 2001).
Jenis permainan yang diterapkan di lingkungan sekolah yaitu permainan simulasi yakni gabungan dari sifat-sifat yang dimiliki oleh simulasi (permainan peran, suatu contoh atau sesuatu yang menyerupai sesuatu yang nyata) dengan sifat-sifat yang dimiliki/diperlukan dalam suatu permainan (mempunyai suatu tujuan, mempunyai peraturan dan tata tertib khusus).
Keuntungan yang diperoleh melalui permainan simulasi dalam proses belajar mengajar yang dikemukakan oleh Latuheru (2002: 123) sebagai berikut:                
  •     Melalui permainan simulasi, anak didik dapat segera melihat/mengetahui hasil dari pekerjaan mereka.
  • Permainan simulasi memungkinkan peserta untuk memecahkan masalah-masalah nyata, dibanding dengan hanya mencari pemecahan masalah melalui bahan-bahan bacaan 
  • Permainan simulasi memberikan pengalaman-pengalaman nyata dan dapat diulangi sebanyak yang dikehendaki.
  • Pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam alam nyata, hanya dapat diatur secara sederhana dalam suatu permainan di dalam kelas.
  •  Bila menggunakan permainan simulasi dalam masalah-masalah pembelajaran maka guru harus berperan sebagai seorang motivator, fasilitator, bahkan seorang penolong.
  • Ada berbagai macam kemungkinan variasi dalam permainan simulasi, sehingga memungkinkan penggunaannya dalam hampir semua bidang.
  • Permainan simulasi juga bisa menggunakan berbagai jenis media, sistem multi media, maupun modul.
3. Masyarakat

        Dalam masyarakat berbagai lembaga perlu bergiat secara terpadu memprogramkan kegiatan pendidikan di luar sekolah. Pendidik menyusun dan mengupayakan program penyaluran energi berlebih dalam waktu luang untuk kompetisi berprestasi antar siswa. Juga memprogram kompetisi di bidang seni, olah raga, serta belajar dan bekerja bersama dalam kelompok-kelompok sehat yang bersaing. Dorong dan kembangkan rasa bersalah juga rasa malu melanggar norma-norma kehidupan bersama. Pemimpin yang juga berfungsi sebagai pendidik diisyaratkan memberi teladan dalam interaksi sosial yang sehat bersama lingkungannya. Ia menanamkan penghormatan pada martabat manusia. Juga menumbuhkan solidaritas kelompok serta sifat suka menolong berdasar kasih sayang dengan memperlakukan sesama sebagaimana ia ingin diperlakukan orang lain. Suasana interaksi dalam hubungan sosial tersebut patut dipelihara dan dikembangkan oleh manusia dalam proses pendidikan sepanjang hayat.
           Hurlock (1999) mengemukakan bahwa di lingkungan masyarakat, anak mulai bermain bersama dengan teman sebayanya sehingga anak mengerti tentang bagaimana cara belajar bermasyarakat (mereka belajar bagaimana membentuk hubungan sosial dan bagaimana menghadapi dan memecahkan masalah yang timbul dalam hubungan tersebut).
          Perkembangan sosial sejak usia prasekolah hingga akhir masa sekolah ditandai oleh semakin meluasnya pergaulan sosial, terutama dengan teman sebaya. Teman sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan sosial atau yang memiliki kesamaan ciri-ciri, seperti kesamaan tingkat usia (Hetherington dan Parke dalam Sinolungan). Akan tetapi, belakangan defenisi teman sebaya lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis (Lewis dan Rosenblum dalam Sinolungan).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar