Oleh Erlina Budi Utami
Menyertai
perkembangan fisik dan psikis sejak masa bayi teramati kegiatan awal dalam
bermain dan sikap kompetitif yang wajar dan sportif terhadap sesamanya. Anak
mulai bermain dan bercakap sendiri, di rumah atau halaman kemudian meluas
kepada tetangga sebaya dan orang-orang lingkungan terdekat. Bermain merupakan
kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan, kegembiraan, dan
kepuasaan tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Terlebih jika didorong orang tua
dan dipacu orang-orang di sekitarnya.
Dalam kompetisi tersirat perjuangan untuk
memenangkan sesuatu sesuai aturan permainan adalah, persaingan kompetitif yang
tidak berisi pertentangan pribadi. Setiap pihak ingin mewujudkan diri mengungguli
pihak lain dan boleh menang. Pertandingan kompetitif sekalipun keras seperti
saling mematikan, tetapi tetap dalam suasana persahabatan. Hal ini tampak dalam
kompetisi beberapa jenis olahraga, seperti yudo, karate, tinju, atau bola kaki.
Usai kompetisi yang keras, masing-masing pihak bersikap sportif saling berjabat
tangan atau berangkulan seperti saudara atau sahabat karib. Sikap positif itu
menandai perkembangan sosial yang wajar di tengah sikap kompetitif dalam
melakukan permainan di lingkungan masyarakat.
Upaya mengembangkan kemampuan sosial anak
berimplikasi pada tanggung jawab pelaksanaan pendidikan dalam kerjasama
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1.
Keluarga
Orangtua perlu menyadari tanggung jawab menumbuhkan
perilaku sosial anak-anak titipan-Nya. Kesadaran itu diwujudkan dalam pembinaan
keluarga yang utuh, serasi dan sehat. Di sana orangtua memberi kebebasan
bereksplorasi pada suasana kerja sama juga persaingan sehat dalam berbagai
kegiatan anak-anak mereka, seperti bermain.
Sesuai dengan perkembangan sosial yang semakin
matang, anak secara berangsur-angsur lebih banyak mempelajari mengenai
sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga,
sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk mengendalikan tingkah lakunya. Perubahan
ini mempunyai dampak yang besar terhadap kualitas hubungan antara anak-anak
usia sekolah dasar dan orangtua mereka (Seifert dan Hoffnung dalam
Sinolungan).
Permainan memberikan pengaruh besar dalam
mengembangkan kemampuan sosial anak, karena dengan permainan anak-anak dapat
mengetahui peran dan fungsinya dalam kelompok, dengan permainan anak juga
mempunyai teman yang banyak, teman membuat hidup si anak lebih menarik dan
menyenangkan.
2.
Sekolah
Sekolah
juga mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan sikap sosial
anak, karena selama masa pertengahan dan akhir anak-anak, anak menghabiskan
kurang lebih 10.000 jam waktunya di ruang kelas. Anak-anak menghabiskan waktu
bertahun-tahun di sekolah sebagai anggota suatu masyarakat kecil yang harus mengerjakan
sejumlah tugas dan mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan dan membatasi
perilaku, perasaan dan sikap mereka (Santrock dalam Sinolungan)
Di sekolah, guru membimbing perkembangan kemampuan
sikap, dan hubungan sosial yang wajar pada peserta didiknya. Hubungan sosial
yang sehat dalam sekolah dan kelas seyogyanya diprogram, dikreasikan, dan
dipelihara bersama-sama dalam belajar, bermain dan berkompetisi sehat. Sekolah
mengupayakan layanan bimbingan kepada peserta didik. Bimbingan selain untuk
belajar adalah untuk penyesuaian diri ke dalam lingkungan atau juga penyerasian
terhadap lingkungannya. Kepada siswa diajarkan tentang disiplin dan aturan
melalui keteraturan atau conformity yang disiratkan dalam tiap pelajaran
(Sinolungan, 2001).
Jenis
permainan yang diterapkan di lingkungan sekolah yaitu permainan simulasi yakni
gabungan dari sifat-sifat yang dimiliki oleh simulasi (permainan peran, suatu
contoh atau sesuatu yang menyerupai sesuatu yang nyata) dengan sifat-sifat yang
dimiliki/diperlukan dalam suatu permainan (mempunyai suatu tujuan, mempunyai
peraturan dan tata tertib khusus).
Keuntungan yang diperoleh melalui permainan simulasi
dalam proses belajar mengajar yang dikemukakan oleh Latuheru (2002: 123)
sebagai berikut:
- Melalui permainan simulasi, anak didik dapat segera melihat/mengetahui hasil dari pekerjaan mereka.
- Permainan simulasi memungkinkan peserta untuk memecahkan masalah-masalah nyata, dibanding dengan hanya mencari pemecahan masalah melalui bahan-bahan bacaan
- Permainan simulasi memberikan pengalaman-pengalaman nyata dan dapat diulangi sebanyak yang dikehendaki.
- Pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam alam nyata, hanya dapat diatur secara sederhana dalam suatu permainan di dalam kelas.
- Bila menggunakan permainan simulasi dalam masalah-masalah pembelajaran maka guru harus berperan sebagai seorang motivator, fasilitator, bahkan seorang penolong.
- Ada berbagai macam kemungkinan variasi dalam permainan simulasi, sehingga memungkinkan penggunaannya dalam hampir semua bidang.
- Permainan simulasi juga bisa menggunakan berbagai jenis media, sistem multi media, maupun modul.
3.
Masyarakat
Dalam
masyarakat berbagai lembaga perlu bergiat secara terpadu memprogramkan kegiatan
pendidikan di luar sekolah. Pendidik menyusun dan mengupayakan program
penyaluran energi berlebih dalam waktu luang untuk kompetisi berprestasi antar
siswa. Juga memprogram kompetisi di bidang seni, olah raga, serta belajar dan
bekerja bersama dalam kelompok-kelompok sehat yang bersaing. Dorong dan
kembangkan rasa bersalah juga rasa malu melanggar norma-norma kehidupan
bersama. Pemimpin yang juga berfungsi sebagai pendidik diisyaratkan memberi
teladan dalam interaksi sosial yang sehat bersama lingkungannya. Ia menanamkan
penghormatan pada martabat manusia. Juga menumbuhkan solidaritas kelompok serta
sifat suka menolong berdasar kasih sayang dengan memperlakukan sesama
sebagaimana ia ingin diperlakukan orang lain. Suasana interaksi dalam hubungan
sosial tersebut patut dipelihara dan dikembangkan oleh manusia dalam proses
pendidikan sepanjang hayat.
Hurlock
(1999) mengemukakan bahwa di lingkungan masyarakat, anak mulai bermain bersama
dengan teman sebayanya sehingga anak mengerti tentang bagaimana cara belajar
bermasyarakat (mereka belajar bagaimana membentuk hubungan sosial dan bagaimana
menghadapi dan memecahkan masalah yang timbul dalam hubungan tersebut).
Perkembangan
sosial sejak usia prasekolah hingga akhir masa sekolah ditandai oleh semakin
meluasnya pergaulan sosial, terutama dengan teman sebaya. Teman sebaya (peer)
sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua orang yang
memiliki kesamaan sosial atau yang memiliki kesamaan ciri-ciri, seperti
kesamaan tingkat usia (Hetherington dan Parke dalam Sinolungan).
Akan tetapi, belakangan defenisi teman sebaya lebih ditekankan pada kesamaan
tingkah laku atau psikologis (Lewis dan Rosenblum dalam
Sinolungan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar